Rabu, 14 Agustus 2013

IDUL FITRI 1434 H


Hari Rabu pagi (7/8/2013, Uwa istri, anak dan menantunya datang ke rumah untuk menginap selama seminggu lebih. Ema yang akhir-akhir ini menangis sepeninggal Uwa lelaki, mulai berangsur ceria kembali. Dua minggu lebih rumah ini dirundung duka akibat kepergian mendadak Uwa lelaki, yang tak akan kembali lagi. Uwa istri, sebagai istrinya, tampak tegar mendengar Ema yang kembali menceritakannya semasa hidup. Air mata mungkin mulai berkurang di mata Uwa istri, terlihat ia cepat masuk kamar mengganti ke pakaian daster, lalu membuka bahan masakan di dapur. Suara presto terdengar dibuka, gemericik air ke dalam panci, dan kompor gas dinyalakan. Tak lama Uwa istri memanggil, “mana bawang berem?, mau lebaran bumbu ko pada kosong”. 

Kegiatan masak di dapur pun dimulai. Menantu-menantunya mengupas kulit kentang, menggoreng kerupuk sumber sari, merebus babat, merebus ayam, membungkus lontong, dan mengulek bumbu-bumbu. Mamah dan keluarga sibuk pula berbenah barang untuk mudik ke Ciamis. Ema Embot sibuk pula mencari bumbu-bumbu yang tidak ada di dapur. Ema tak kalah sibuk menghitung berapa leter beras tiap keresek yang akan dibagikannya besok. Saya hanya mandi santai di kamar mandi sambil mencuci baju.

Setelah Mamah dan dan keluarga melambaikan tangan sambil mobil melaju, saya dapat kiriman SMS dari Bapak yang menyuruhku mengambil ikan di rumahnya. Ikan khas Waduk Cirata memenuhi hampir sekarung. Untungnya saya membawa Si Merah, ikan hampir sekarung ini dapat disimpan di bagian depan tubuhnya.

Saudara saya membersihkan semua ikan hingga 1 jam sebelum Adzan Maghrib. Baju mereka hampir berwarna merah, terkena cipratan darah ikan yang besarnya melebihi sandal jepit. Saya menyodorkan tangan mengucapkan selamat atas keberhasilan membunuh ikan-ikan bongsor itu. Saudara saya langsung menyodorkan coet dan mutu sambil mengepalkan tangan. Gila benar!  kebayang tangan mati rasa karena harus ngulek bumbu pindang ikan yang hampir sekarung.

Tak lama, saudara saya yang lain, lewat ke dapur, saya langsung minta gantian ngulek karena harus membeli kelapa muda untuk tajil. Untungnya, Warung Mang Isap tak penuh, jadi dapat terlayani dengan cepat. Satu plastik besar kelapa muda dan plastik besar goyobod saya bawa menuju rumah. Sesampainya di rumah, lauk pauk untuk buka puasa telah tersedia di ruang menonton TV. Saya melumerkan gula putih ke dalam air panas ditambah sehelai daun pandan. Kelapa muda dan goyobod dimasukkan ke dalam mangkuk besar, ditambah air gula, dan es batu. Beberapa menit berlalu, Adzan Maghrib pun berkumandang. Alhamdulillah, puasa Ramadhan tahun ini terlewati juga bersama Ema dan keluarga. Di luar rumah kembang api memancarkan cahaya terangnya di langit yang bersaing dengan bintang yang malu-malu menampakkan dirinya.

Setelah sholat Maghrib dan makan, Uwa istri melanjutkan masak di dapur. Saya kebagian mengulek bumbu lagi, bumbu ini untuk opor ayam dan kentang goreng. Bumbu kedua masakan ini hampir sama, yang membedakannya hana pemakaian jahe untuk bumbu opor. Saya tak kuat lagi menahan kantuk, bumbu ulek hampir saja keluar dari coet. Saya ke kamar untuk tidur sebentar, sementara Uwa istri terus melanjutkan masak.

Setelah semalam terbangun untuk Sholat Isya, saya tidur kembali, lalu bangun jam 5 Shubuh. Ketika Uwa istri sedang menghangatkan lauk pauk di kompor gas, saya langsung menyalakan hawu untuk merebus air mandi Ema. Kami di rumah berebut kamar mandi yang hanya 1 ruangan. Makanya, kami mandi harus serba cepat, mungkin sabun masih tertinggal di badan atau sudah terbilas air. Alhasil, kita semua berangkat Sholat Id Pkl. 06.15, sesampainya di sana ruangan mesjid hingga teras depan penuh oleh jamaah. Akhirnya, kami menggelar sajadah di teras samping mesjid, yang kebetulan  teras milik Pak Haji Ahmad.

Ketika Sholat Id selesai, kami bersalaman secara berurutan dengan para jamaah lainnya. Tetanggaku ada bersalaman sambil berurai air mata, berpelukan, cium pipi kanan kiri, tersenyum, dan menangis sekeras-kerasnya. Sebenarnya, tiap kali saya melakukan Sholat Id, tak pernah satu kali pun menitikkan air mata. Tapi, kali ini, aku teringat Uwa lelaki, air mata tak bisa dibendung lagi. Air mata terus mengalir saat saya bersalaman dengan para jamaah. Mungkin beginilah rasanya mengingat seseorang yang tak akan kembali lagi. Mungkin juga ingat atas dosa yang selama ini diperbuat. Sehingga hati kita sedih dan rindu.

Sesampainya di rumah Ema yang tidak ikut Sholat Id sedang melaksanakan Sholat Duha. Saudara saya bergantian sungkem kepada Ema. Ketika mengecek isi pesan di HP, begitu banyak pesan dari teman-teman yang mengucapkan Minal AIdzin Walfaidzin. Sebetulnya, saya belum bisa membalas pesan mereka. Jari jemari kaku mengetikkan rangkaian kalimat di HP. Saya malas berkomunikasi melalui HP sejak kepergian Uwa lelaki. Ketika terlihat nomor kontak di HP, saya teringat kembali kenangan bersama Uwa lelaki.

Perayaan Idul Fitri kali ini memang terasa kurang, karena salah satu anggota keluarga menghilang. Ibarat gigi depan yang dicabut dokter gigi, walau giginya telah dicabut tetapi fungsinya tak dapat diganti. Begitupun Uwa lelaki. Walau telah pergi selamanya, kehadirannya tak bisa diganti oleh siapa pun. Namun, kita kembali lagi ke makna Idul Fitri, yang berarti kembali ke jiwa yang bersih, kembali memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan selama ini, merencanakan jalan hidup kembali, mendoakan uwa-uwa yang telah pergi selamanya, menjaga keluarga, beribadah lebih rajin, dan terus berbuat kebaikan sejati. Baru itu yang dapat saya lakukan. Suara Ema yang memanggil memecah lamunan, sekarang giliranku yang sungkem padanya. Selamat Idul Fitri 1434 H. (9/8/2013).
                                               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar