Hari Rabu pagi (7/8/2013, Uwa
istri, anak dan menantunya datang ke rumah untuk menginap selama seminggu
lebih. Ema yang akhir-akhir ini menangis sepeninggal Uwa lelaki, mulai
berangsur ceria kembali. Dua minggu lebih rumah ini dirundung duka akibat
kepergian mendadak Uwa lelaki, yang tak akan kembali lagi. Uwa istri, sebagai
istrinya, tampak tegar mendengar Ema yang kembali menceritakannya semasa hidup.
Air mata mungkin mulai berkurang di mata Uwa istri, terlihat ia cepat masuk
kamar mengganti ke pakaian daster, lalu membuka bahan masakan di dapur. Suara
presto terdengar dibuka, gemericik air ke dalam panci, dan kompor gas
dinyalakan. Tak lama Uwa istri memanggil, “mana
bawang berem?, mau lebaran bumbu ko
pada kosong”.
Kegiatan masak di dapur pun
dimulai. Menantu-menantunya mengupas kulit kentang, menggoreng kerupuk sumber
sari, merebus babat, merebus ayam, membungkus lontong, dan mengulek
bumbu-bumbu. Mamah dan keluarga sibuk pula berbenah barang untuk mudik ke
Ciamis. Ema Embot sibuk pula mencari bumbu-bumbu yang tidak ada di dapur. Ema
tak kalah sibuk menghitung berapa leter beras tiap keresek yang akan
dibagikannya besok. Saya hanya mandi santai di kamar mandi sambil mencuci baju.
Setelah Mamah dan dan keluarga
melambaikan tangan sambil mobil melaju, saya dapat kiriman SMS dari Bapak yang
menyuruhku mengambil ikan di rumahnya. Ikan khas Waduk Cirata memenuhi hampir
sekarung. Untungnya saya membawa Si Merah, ikan hampir sekarung ini dapat disimpan
di bagian depan tubuhnya.
Saudara saya membersihkan semua
ikan hingga 1 jam sebelum Adzan Maghrib. Baju mereka hampir berwarna merah,
terkena cipratan darah ikan yang besarnya melebihi sandal jepit. Saya
menyodorkan tangan mengucapkan selamat atas keberhasilan membunuh ikan-ikan
bongsor itu. Saudara saya langsung menyodorkan coet dan mutu sambil
mengepalkan tangan. Gila benar! kebayang
tangan mati rasa karena harus ngulek bumbu pindang ikan yang hampir sekarung.
Tak lama, saudara saya yang
lain, lewat ke dapur, saya langsung minta gantian ngulek karena harus membeli kelapa muda untuk tajil. Untungnya,
Warung Mang Isap tak penuh, jadi dapat terlayani dengan cepat. Satu plastik
besar kelapa muda dan plastik besar goyobod saya bawa menuju rumah. Sesampainya
di rumah, lauk pauk untuk buka puasa telah tersedia di ruang menonton TV. Saya
melumerkan gula putih ke dalam air panas ditambah sehelai daun pandan. Kelapa
muda dan goyobod dimasukkan ke dalam mangkuk besar, ditambah air gula, dan es
batu. Beberapa menit berlalu, Adzan Maghrib pun berkumandang. Alhamdulillah,
puasa Ramadhan tahun ini terlewati juga bersama Ema dan keluarga. Di luar rumah
kembang api memancarkan cahaya terangnya di langit yang bersaing dengan bintang
yang malu-malu menampakkan dirinya.
Setelah sholat Maghrib dan
makan, Uwa istri melanjutkan masak di dapur. Saya kebagian mengulek bumbu lagi,
bumbu ini untuk opor ayam dan kentang goreng. Bumbu kedua masakan ini hampir
sama, yang membedakannya hana pemakaian jahe untuk bumbu opor. Saya tak kuat
lagi menahan kantuk, bumbu ulek hampir saja keluar dari coet. Saya ke kamar untuk tidur sebentar, sementara Uwa istri terus
melanjutkan masak.
Setelah semalam terbangun untuk
Sholat Isya, saya tidur kembali, lalu bangun jam 5 Shubuh. Ketika Uwa istri
sedang menghangatkan lauk pauk di kompor gas, saya langsung menyalakan hawu untuk merebus air mandi Ema. Kami
di rumah berebut kamar mandi yang hanya 1 ruangan. Makanya, kami mandi harus
serba cepat, mungkin sabun masih tertinggal di badan atau sudah terbilas air.
Alhasil, kita semua berangkat Sholat Id Pkl. 06.15, sesampainya di sana ruangan
mesjid hingga teras depan penuh oleh jamaah. Akhirnya, kami menggelar sajadah
di teras samping mesjid, yang kebetulan
teras milik Pak Haji Ahmad.
Ketika Sholat Id selesai, kami
bersalaman secara berurutan dengan para jamaah lainnya. Tetanggaku ada
bersalaman sambil berurai air mata, berpelukan, cium pipi kanan kiri,
tersenyum, dan menangis sekeras-kerasnya. Sebenarnya, tiap kali saya melakukan
Sholat Id, tak pernah satu kali pun menitikkan air mata. Tapi, kali ini, aku
teringat Uwa lelaki, air mata tak bisa dibendung lagi. Air mata terus mengalir
saat saya bersalaman dengan para jamaah. Mungkin beginilah rasanya mengingat
seseorang yang tak akan kembali lagi. Mungkin juga ingat atas dosa yang selama
ini diperbuat. Sehingga hati kita sedih dan rindu.
Sesampainya di rumah Ema yang tidak
ikut Sholat Id sedang melaksanakan Sholat Duha. Saudara saya bergantian sungkem
kepada Ema. Ketika mengecek isi pesan di HP, begitu banyak pesan dari
teman-teman yang mengucapkan Minal AIdzin Walfaidzin. Sebetulnya, saya belum
bisa membalas pesan mereka. Jari jemari kaku mengetikkan rangkaian kalimat di
HP. Saya malas berkomunikasi melalui HP sejak kepergian Uwa lelaki. Ketika terlihat
nomor kontak di HP, saya teringat kembali kenangan bersama Uwa lelaki.
Perayaan Idul Fitri kali ini
memang terasa kurang, karena salah satu anggota keluarga menghilang. Ibarat
gigi depan yang dicabut dokter gigi, walau giginya telah dicabut tetapi
fungsinya tak dapat diganti. Begitupun Uwa lelaki. Walau telah pergi selamanya,
kehadirannya tak bisa diganti oleh siapa pun. Namun, kita kembali lagi ke makna
Idul Fitri, yang berarti kembali ke jiwa yang bersih, kembali memperbaiki
kesalahan yang telah dilakukan selama ini, merencanakan jalan hidup kembali,
mendoakan uwa-uwa yang telah pergi selamanya, menjaga keluarga, beribadah lebih
rajin, dan terus berbuat kebaikan sejati. Baru itu yang dapat saya lakukan. Suara
Ema yang memanggil memecah lamunan, sekarang giliranku yang sungkem padanya.
Selamat Idul Fitri 1434 H. (9/8/2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar