Senin, 17 Juni 2013

Pengajaran yang Berbeda


Judul          : Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela
Penulis        : Tetsuko Kuroyanagi
Penerjemah : Widya Kirana
Penerbit      : Gramedia, 2008

+ “Bang, aku pengen baca buku tentang anak-anak”
-  “Banyak, ada buku bagus dan terkenal dari Jepang”

Bang Anton mengambilkan sebuah buku dari rak kumpulan koleksi Jepang di dekat meja pelayanan lalu menyodorkannya padaku. Buku bersampul putih dengan sebuah gambar anak kecil memakai mantel.

+ “Toto-chan: Gadis Cilik di Jendela, kenapa tidak ada gambar jendelanya?”
-  “ya, terkait dengan isi ceritanya. Buku ini menjadi buku pedoman pendidikan di Jepang”
 
Itulah pertama kalinya aku membaca sebuah buku terjemahan Jepang. Maklum aku mulai aktif lagi membaca saat awal kuliah. Buku ini pun cepat kubaca di rumah, hingga dua kali kubaca. Ceritanya diawali oleh sikap anak-anak Totto-chan yang hiperaktif, yang dianggap aneh di sekolah hingga ibunya memindahkannya ke sebuah sekolah lain. Tingkah laku aneh Toto-chan dianggap gurunya sebagai sebuah gangguan karena tidak normal untuk ukuran anak kecil yang selalu penurut. Sikap guru ini berbeda dengan sikap kepala sekolah dan guru-guru di sekolah barunya, Tomoe Gakuen.

Saat dia tiba di sana, dia ditanya oleh kepala sekolahnya tentang apa saja yang dia suka. Dia terus berbicara tanpa henti. Kepala sekolah sabar mendengarkannya berbicara, berekspresi terhadap ceritanya, dan bertanya, “tak ada lagi yang ingin kau ceritakan?”  (p.25). Dia melanjutkan bicaranya, dan  saat itu,

Totto-chan merasa dia telah bertemu dengan orang yang benar-benar disukainya. Belum pernah ada orang yang mau mendengarkan dia sampai berjam-jam seperti Kepala Sekolah. Lebih dari itu Kepala Sekolah sama sekali tidak menguap atau tampak bosan. Dia selalu tampak tertarik pada apa yang diceritakan Totto-chan, sama seperti Totto-chan sendiri (p.27).

Dia selalu tak sabar untuk belajar setiap hari di sekolah. Belajar di gerbong kereta, memiliki banyak teman, guru-guru dan Kepala Sekolah yang mengerti tingkah lakunya membuatnya selalu semangat pergi ke sekolah. Sekolah ini sama dengan sekolah lain yang mengajarkan banyak ilmu ke siswanya. Tapi yang berbeda adalah pendekatannya. Kepala Sekolahnya memperlihatkan sikap mengerti dan memahami karakter siswanya. Tidak ada orang yang berbeda untuknya, walau dari fisiknya. Ketika anak-anak akan  berenang, Kepala Sekolah membiarkan mereka yang ingin berenang telanjang. Memang agak aneh, tapi,

Ia ingin mengejarkan kepada anak-anak bahwa semua tubuh itu indah. Di antara murid-murid Tomoe,ada anak yang menderita polio, seperti Yasuaki-chan, yang badannya kecil, atau yang cacat. Kepala sekolah berpendapat jika mereka telanjang dan bermain bersama, rasa malu mereka akan hilang dan itu akan membantu mereka menghilangkan rasa rendah diri (p.72).

Sekolah ini berkesan untuk Totto-chan dan teman-temannya, karena apa yang diajarkan sekolahnya pun berharga hingga menjadi bekal ketika dewasa. Sekolah ini menerima keadaan siswa yang apa adanya, tidak menerima yang pintar atau bodoh, cantik atau cacat. Sikap menanamkan percaya diri melalui tindakan oleh Kepala Sekolah selalu diingat siswanya. Bila sikap ini diterapkan di Sekolah Dasar kita tentunya siswanya tidak malas untuk pergi ke sekolah.

                                                                                                         Manglayang, 18 Juni 2013.