Judul : Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela
Penulis : Tetsuko Kuroyanagi
Penerjemah : Widya Kirana
Penerbit : Gramedia, 2008
+ “Bang, aku
pengen baca buku tentang anak-anak”
- “Banyak,
ada buku bagus dan terkenal dari Jepang”
Bang Anton
mengambilkan sebuah buku dari rak kumpulan koleksi Jepang di dekat meja
pelayanan lalu menyodorkannya padaku. Buku bersampul putih dengan sebuah gambar
anak kecil memakai mantel.
+ “Toto-chan:
Gadis Cilik di Jendela, kenapa tidak ada gambar jendelanya?”
- “ya,
terkait dengan isi ceritanya. Buku ini menjadi buku pedoman pendidikan di
Jepang”
Itulah pertama kalinya aku
membaca sebuah buku terjemahan Jepang. Maklum aku mulai aktif lagi membaca saat
awal kuliah. Buku ini pun cepat kubaca di rumah, hingga dua kali kubaca.
Ceritanya diawali oleh sikap anak-anak Totto-chan yang hiperaktif, yang
dianggap aneh di sekolah hingga ibunya memindahkannya ke sebuah sekolah lain.
Tingkah laku aneh Toto-chan dianggap gurunya sebagai sebuah gangguan karena
tidak normal untuk ukuran anak kecil yang selalu penurut. Sikap guru ini
berbeda dengan sikap kepala sekolah dan guru-guru di sekolah barunya, Tomoe
Gakuen.
Saat dia tiba di sana, dia
ditanya oleh kepala sekolahnya tentang apa saja yang dia suka. Dia terus
berbicara tanpa henti. Kepala sekolah sabar mendengarkannya berbicara,
berekspresi terhadap ceritanya, dan bertanya, “tak ada lagi yang ingin kau
ceritakan?” (p.25). Dia melanjutkan bicaranya,
dan saat itu,
Totto-chan merasa dia telah bertemu dengan orang yang benar-benar
disukainya. Belum pernah ada orang yang mau mendengarkan dia sampai berjam-jam
seperti Kepala Sekolah. Lebih dari itu Kepala Sekolah sama sekali tidak menguap
atau tampak bosan. Dia selalu tampak tertarik pada apa yang diceritakan
Totto-chan, sama seperti Totto-chan sendiri (p.27).
Dia selalu tak
sabar untuk belajar setiap hari di sekolah. Belajar di gerbong kereta, memiliki
banyak teman, guru-guru dan Kepala Sekolah yang mengerti tingkah lakunya
membuatnya selalu semangat pergi ke sekolah. Sekolah ini sama dengan sekolah
lain yang mengajarkan banyak ilmu ke siswanya. Tapi yang berbeda adalah
pendekatannya. Kepala Sekolahnya memperlihatkan sikap mengerti dan memahami
karakter siswanya. Tidak ada orang yang berbeda untuknya, walau dari fisiknya. Ketika
anak-anak akan berenang, Kepala Sekolah
membiarkan mereka yang ingin berenang telanjang. Memang agak aneh, tapi,
Ia ingin mengejarkan kepada anak-anak bahwa semua tubuh itu indah. Di
antara murid-murid Tomoe,ada anak yang menderita polio, seperti Yasuaki-chan,
yang badannya kecil, atau yang cacat. Kepala sekolah berpendapat jika mereka
telanjang dan bermain bersama, rasa malu mereka akan hilang dan itu akan
membantu mereka menghilangkan rasa rendah diri (p.72).
Sekolah ini
berkesan untuk Totto-chan dan teman-temannya, karena apa yang diajarkan sekolahnya
pun berharga hingga menjadi bekal ketika dewasa. Sekolah ini menerima keadaan
siswa yang apa adanya, tidak menerima yang pintar atau bodoh, cantik atau
cacat. Sikap menanamkan percaya diri melalui tindakan oleh Kepala Sekolah selalu
diingat siswanya. Bila sikap ini diterapkan di Sekolah Dasar kita tentunya
siswanya tidak malas untuk pergi ke sekolah.
Manglayang, 18
Juni 2013.