Jumat, 22 April 2016

Pernikahan Abad 20

                    http://soloposfm.com/2016/04/21/presiden-jokowi-ucapkan-selamat-                                  hari-kartini/

Dalam memperingati Hari Kartini, serempak di program televisi, para pengisi acara menggunakan kebaya, sarung dan rambut bersanggul. Ini mereka lakukan untuk mengenang jasa dan pengorbanan Kartini dalam mengangkat harkat martabat perempuan melalui pendidikan.

Tapi, cukupkah hal tersebut kita lakukan untuk mengenang jasa dan pengorbanan Kartini? Karena setelah tanggal 21 April, kebaya, sarung dan rambut bersanggul pun tak dikenakan lagi.

Kartini telah membantu rakyat terutama kaum perempuan di bidang pendidikan. Ini merupakan kerja keras yang dilakukannya di tengah kaum feodalisme yang menentangnya, termasuk ayahnya sendiri. Ini dikatakannya dalam surat kepada Estella Zeehandelaar,
“Indah dan mulia tugas yang memanggil kita untuk berjuang bagi kepentingan agung, bekerja buat kemajuan wanita Pribumi yang tertindas, peningkatan rakyat Pribumi, pendeknya menjadi berarti bagi masyarakat, bekerja bagi keabadian; tapi tiadalah aku bisa bertanggung jawab kepada nuraniku, pabila aku serahkan diriku kepada orang-orang lain itu, sementara itu Ayahku, yang paling dahulu berhak atas diriku, kubiarkan menderita dan sakit-sakitan, sedangkan ia membutuhkanku” (Toer, 2003:59).  
  
Kartini mencintai rakyat dan ayahnya. Namun, beliau tak bisa menolak tatkala sang ayah menyuruhnya mengikuti adat dan tradisi Jawa, bahwa kaum perempuan berada di rumah, dipingit dan menikah. Kartini tidak berdiam diri. Kartini berada di rumah, yang disebutnya, “kotak” (Toer, 2003:66), menjalani baktinya sebagai anak dan aktif surat menyurat kepada teman-temannya di Belanda. Kartini menyebutnya hal ini sebagai sebuah bentuk perjuangan.

Bagaimana dengan kita, khususnya perempuan yang sudah menikah di abad 20? Saya berterima kasih kepada Kartini yang telah meningkatkan derajat perempuan di negeri ini. Kita bisa lihat sekarang bahwa beberapa perempuan telah menempati profesi yang dijalani oleh laki-laki dan bahkan mampu bersaing. Walaupun, sebagian perempuan masih belum menerima perlakuan yang adil, keamanan dan perlindungan di Indonesia.

Saya hanya akan menyoroti peranan perempuan yang telah menikah di abad sekarang setelah berkaca kepada perjalanan hidup Kartini. Menurut saya, perempuan yang telah menikah memiliki kebebasan untuk menjadi ibu rumah tangga atau bekerja. Syaratnya ialah adanya persetujuan suami, anak dan keluarga mampu terurusi. Meskipun, ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa menjadi ibu rumah tangga ialah pilihan terbaik. Saya tidak bisa menyetujuinya selama suami, anak menyetujui dan mendukung pilihan istri.

Intinya ialah keterbukaan dalam keluarga. Istri dapat mengutarakan gagasan secara terbuka kepada suami dan anak. Apabila saya kembali ke tahun 1901, Kartini tidak bisa mengutarakan pemikirannya langsung kepada keluarga karena terganjal peraturan dan adat. Kartini dalam surat menyuratnya kepada sahabatnya di Belanda mengatakan, “Gadis tak boleh punya hak, karena bagaimana pun itu akan merugikan kepentingan lelaki. Hak si gadis ialah apa yang abangnya yang tiada angkara murka itu mengizinkan” (Toer, 2003:72). Jadi, jelaslah bahwa perempuan tidak memiliki kuasa untuk berbicara dalam keluarga pada waktu itu.

Sekarang, saya patut bersyukur bahwa perempuan memiliki kebebasan berbicara dan mengungkapkan pikiran dalam keluarga.  Laki-laki sebagai suami pun dapat saling mengungkapkan pemikiran dan perasaannya. Sehingga tidak ada lagi kesenjangan antara istri dengan suami. Menurut saya seperti itu, bahwa memaknai Hari Kartini dapat dimulai dari yang paling dekat dulu, yakni keluarga. Maka, para suami dan istri dapat mengobrol sambil masak bersama di dapur. Rasa masakan yang keasinan atau kemanisan pun akan terasa enak saja.
                                                          Manglayang, 22 April 2016     

Rujukan
Toer, Pramoedya Ananta. 2003. “Panggil Aku Kartini Saja”. Jakarta: Lentera Dipantara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar