http://soloposfm.com/2016/04/21/presiden-jokowi-ucapkan-selamat- hari-kartini/
Dalam memperingati Hari
Kartini, serempak di program televisi, para pengisi acara menggunakan kebaya,
sarung dan rambut bersanggul. Ini mereka lakukan untuk mengenang jasa dan
pengorbanan Kartini dalam mengangkat harkat martabat perempuan melalui
pendidikan.
Tapi, cukupkah hal tersebut
kita lakukan untuk mengenang jasa dan pengorbanan Kartini? Karena setelah
tanggal 21 April, kebaya, sarung dan rambut bersanggul pun tak dikenakan lagi.
Kartini telah membantu
rakyat terutama kaum perempuan di bidang pendidikan. Ini merupakan kerja keras
yang dilakukannya di tengah kaum feodalisme yang menentangnya, termasuk ayahnya
sendiri. Ini dikatakannya dalam surat kepada Estella Zeehandelaar,
“Indah dan mulia
tugas yang memanggil kita untuk berjuang bagi kepentingan agung, bekerja buat
kemajuan wanita Pribumi yang tertindas, peningkatan rakyat Pribumi, pendeknya
menjadi berarti bagi masyarakat, bekerja bagi keabadian; tapi tiadalah aku bisa
bertanggung jawab kepada nuraniku, pabila aku serahkan diriku kepada
orang-orang lain itu, sementara itu Ayahku, yang paling dahulu berhak atas
diriku, kubiarkan menderita dan sakit-sakitan, sedangkan ia membutuhkanku”
(Toer, 2003:59).
Kartini
mencintai rakyat dan ayahnya. Namun, beliau tak bisa menolak tatkala sang ayah
menyuruhnya mengikuti adat dan tradisi Jawa, bahwa kaum perempuan berada di
rumah, dipingit dan menikah. Kartini tidak berdiam diri. Kartini berada di
rumah, yang disebutnya, “kotak” (Toer, 2003:66), menjalani baktinya sebagai
anak dan aktif surat menyurat kepada teman-temannya di Belanda. Kartini
menyebutnya hal ini sebagai sebuah bentuk perjuangan.
Bagaimana
dengan kita, khususnya perempuan yang sudah menikah di abad 20? Saya berterima
kasih kepada Kartini yang telah meningkatkan derajat perempuan di negeri ini.
Kita bisa lihat sekarang bahwa beberapa perempuan telah menempati profesi yang
dijalani oleh laki-laki dan bahkan mampu bersaing. Walaupun, sebagian perempuan
masih belum menerima perlakuan yang adil, keamanan dan perlindungan di Indonesia.
Saya
hanya akan menyoroti peranan perempuan yang telah menikah di abad sekarang
setelah berkaca kepada perjalanan hidup Kartini. Menurut saya, perempuan yang
telah menikah memiliki kebebasan untuk menjadi ibu rumah tangga atau bekerja.
Syaratnya ialah adanya persetujuan suami, anak dan keluarga mampu terurusi.
Meskipun, ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa menjadi ibu rumah tangga
ialah pilihan terbaik. Saya tidak bisa menyetujuinya selama suami, anak
menyetujui dan mendukung pilihan istri.
Intinya
ialah keterbukaan dalam keluarga. Istri dapat mengutarakan gagasan secara
terbuka kepada suami dan anak. Apabila saya kembali ke tahun 1901, Kartini
tidak bisa mengutarakan pemikirannya langsung kepada keluarga karena terganjal
peraturan dan adat. Kartini dalam surat menyuratnya kepada sahabatnya di
Belanda mengatakan, “Gadis tak boleh punya hak, karena bagaimana pun itu akan
merugikan kepentingan lelaki. Hak si gadis ialah apa yang abangnya yang tiada
angkara murka itu mengizinkan” (Toer, 2003:72). Jadi, jelaslah bahwa perempuan
tidak memiliki kuasa untuk berbicara dalam keluarga pada waktu itu.
Sekarang,
saya patut bersyukur bahwa perempuan memiliki kebebasan berbicara dan
mengungkapkan pikiran dalam keluarga.
Laki-laki sebagai suami pun dapat saling mengungkapkan pemikiran dan
perasaannya. Sehingga tidak ada lagi kesenjangan antara istri dengan suami.
Menurut saya seperti itu, bahwa memaknai Hari Kartini dapat dimulai dari yang
paling dekat dulu, yakni keluarga. Maka, para suami dan istri dapat mengobrol
sambil masak bersama di dapur. Rasa masakan yang keasinan atau kemanisan pun
akan terasa enak saja.
Manglayang,
22 April 2016
Rujukan
Toer, Pramoedya Ananta.
2003. “Panggil Aku Kartini Saja”. Jakarta: Lentera Dipantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar